Tugas 1
Kewarganegaraan
Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia
Surat Bukti
Kewarganegaraan Republik Indonesia atau biasa disingkat SBKRI adalah kartu
identitas yang menyatakan bahwa pemiliknya adalah warganegara Republik Indonesia. Walaupun demikian, SBKRI hanya diberikan kepada
warganegara Indonesia keturunan, terutama keturunan Tionghoa. Kepemilikan SBKRI adalah salah
satu syarat yang harus dipenuhi seseorang untuk mengurus berbagai keperluan,
seperti kartu tanda penduduk (KTP), memasuki dunia pendidikan, permohonan
paspor, pendaftaran Pemilihan Umum, sampai menikah dan meninggal dunia dan lain-lain.
Hal ini dianggap oleh banyak pihak sebagai perlakuan diskriminatif dan sejak Orde Reformasi telah dihapuskan, walaupun dalam praktiknya masih
diterapkan di berbagai daerah.
Sejarah SBKRI
Dasar hukum
SBKRI adalah Undang-Undang no. 62 tahun 1958 tentang
"Kewarga-negaraan Republik Indonesia" yang dikeluarkan oleh Menteri Kehakiman G.A. Maengkom dan
disahkan oleh Presiden Soekarno.
Salah satu
alasan utama yang selalu dikemukakan adalah bahwa kebijakan SBKRI merupakan
konsekuensi dari klaim politik pemerintahan Mao Zedong bahwa semua orang Tionghoa di seluruh dunia termasuk
Indonesia adalah warga negara Republik Rakyat Cina karena asas ius sanguinis (keturunan darah). Kebijaksanaan itu kemudian
ditindaklanjuti dengan Perjanjian Dwi-Kewarganegaraan RI-RRT antara Chou En Lai dan Mr. Soenario pada 1955.
Dalam Pasal
12 Bab II Peraturan Pemerintah No 20/1959 tentang Pelaksanaan Undang-Undang
tentang Persetujuan Antara Republik Indonesia dan Republik Rakyat Tiongkok
disebutkan bahwa ada berbagai kelompok WNI yang dikelompokkan sebagai WNI
tunggal atau mereka yang tidak diperkenankan untuk memilih kewarganegaraan
RI-RRT dan tetap menjadi WNI, yaitu untuk mereka yang berstatus misalnya
tentara, veteran, pegawai pemerintah, yang pernah membela nama Republik
Indonesia di dunia Internasional, petani atau bahkan secara implisit mereka
yang sudah pernah ikut Pemilu 1955. Tapi peraturan ini tidak
dilaksanakan dan tetap saja perjanjian dwikewarganegaraan dengan kewajiban
memilih kewarganegaraan RI atau RRT diterapkan kepada mereka.
Perjanjian
Dwikewarganegaraan RI-RRT ini yang dituangkan dalam UU No 2/1958 pada tanggal
11 Januari 1958 dan diimplementasikan dengan PP No 20/1959 dengan masa opsi 20
Januari 1960 hingga 20 Januari 1962, sudah menyelesaikan permasalahan
dwikewarganegaraan RI-RRT. Dengan demikian, setelah perjanjian
dwikewarganegaraan tersebut dibatalkan pada 10 April 1969 dengan UU No 4/1969,
permasalahan status WNI Tionghoa sudah terselesaikan dan anak-anak WNI Tionghoa
yang lahir setelah tanggal 20 Januari 1962 sudah menjadi WNI tunggal, yang
setelah dewasa tidak diperbolehkan lagi untuk memilih kewarganegaraan
lain-selain kewarganegaraan Indonesia (Penjelasan Umum UU No 4/1969) dan tidak
perlu lagi membuktikan kewarganegaraan dengan SBKRI.
Kronologi
1946 -
Indonesia pada tahun 1946 telah jelas mengundangkan bahwa Indonesia menganut
azas ius soli. Siapa saja yang lahir di Indonesia adalah warga negara Indonesia. Dengan demikian, secara otomatis,
orang Tionghoa yang ada di Indonesia sejak Proklamasi 1945 adalah WNI suku
Tionghoa.
1949 -
Belanda mengharuskan Indonesia mendasarkan peraturan kewarganegaraannya ke
zaman kolonial bila ingin mendapat pengakuan kedaulatan dari Belanda. Orang
Tionghoa di Indonesia kembali diharuskan memilih ingin jadi WNI atau tidak.
1955 - Perjanjian Dwi Kewarganegaraan antara RRC dan Indonesia
ditandatangani. Karena ada klaim dari Mao Zedong bahwa RRC menganut azas ius sanguinis, siapa yang lahir membawa marga Tionghoa (keturunan
dari laki-laki Tionghoa) maka ia otomatis menjadi warga negara Tiongkok. (Hal
ini merupakan alasan politik untuk menggalang dukungan dari kalangan Tionghoa
perantauan seperti yang dilakukan oleh ROC Taiwan (nasionalis)). Di KAA
Bandung, Zhou Enlai menyatakan bahwa keturunan Tionghoa
di Indonesia berutang kesetiaan pada negara leluhur. Mao di satu pihak
meluncurkan kebijakan ini, namun di lain pihak merasa keturunan Tionghoa di
luar negeri adalah masih memihak kepada ROC yang nasionalis.
1958 -
Perjanjian dituangkan dalam UU, menegaskan bahwa orang Tionghoa di Indonesia
kembali diperbolehkan memilih kewarganegaraan Tiongkok atau Indonesia. Batas
waktu pemilihan sampai pada tahun 1962. Yang memilih menjadi WNI tunggal harus
menyatakan diri melepaskan kewarganegaraan Tiongkok.
1969 -
Perjanjian Dwi Kewarganegaraan dibatalkan. Yang memegang surat pernyataan Dwi
Kewarganegaraan menjadi stateless (tidak memiliki kewarganegaraan) bila
tidak menyatakan keinginan menjadi WNI.
1978 -
Peraturan Menteri Kehakiman mewajibkan SBKRI bagi warga Tionghoa.
1983 -
Keputusan Menteri Kehakiman , menegaskan bahwa SBKRI hanya wajib bagi mereka
yang mengambil surat pernyataan Dwi Kewarganegaraan lalu menyatakan keinginan
menjadi WNI. Jadi bagi WNI tunggal dan keturunannya (yang telah menyatakan
menjadi WNI tunggal sebelum tahun 1962 dan yang keturunan mereka, serta semua
orang Tionghoa yang lahir setelah tahun 1962) tidak diperlukan SBKRI.
1992 -
Keputusan Menteri Kehakiman , menegaskan bahwa anak2 keturunan dari orang
Tionghoa pemegang SBKRI cukup menyertakan SBKRI orang tua sebagai bukti mereka
adalah WNI.
1996 -
Penyertaan SBKRI tidak diberlakukan lagi atas Keputusan Presiden. Namun tidak
banyak yang tahu karena kurangnya sosialisasi.
era
Reformasi
1999 -
Keputusan Presiden tahun 1996 itu diperkuat sekali lagi dengan Instruksi
Presiden tahun 1999.
Perkembangan terakhir
Pada tanggal
8 Juli 1996, Presiden Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor
56 Tahun 1996 tentang Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia.
Di pasal 4
butir 2 berbunyi, "Bagi warga negara Republik Indonesia yang telah
memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP), atau Kartu Keluarga (KK), atau Akte
Kelahiran, pemenuhan kebutuhan persyaratan untuk kepentingan tertentu tersebut
cukup menggunakan Kartu Tanda Penduduk, atau Kartu Keluarga (KK), atau Akte
Kelahiran tersebut."
Sedangkan
pasal 5 berbunyi, "Dengan berlakunya Keputusan Presiden ini, maka
segala peraturan perundang-undangan yang untuk kepentingan tertentu
mempersyaratkan SBKRI, dinyatakan tidak berlaku lagi."
Pada 1999,
dikeluarkan Instruksi Presiden No 4/1999 tentang Pelaksanaan Keputusan Presiden
No 56/1996 yang menginstruksikan tidak berlakunya SBKRI bagi etnis Tionghoa
yang sudah menjadi WNI.
Namun
sebenarnya, praktik persyaratan SBKRI masih tetap ada di birokrasi pemerintahan
karena kurangnya sosialisasi pemberlakuan Keppres ini dan juga karena lemahnya
sistem hukum Indonesia yang menyebabkan peraturan perundang-undangan dapat
begitu saja diabaikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar