Jumat, 21 Juni 2013

hijab, antara budaya timur dan barat


imageMendengar kata hijab, persepsi kita akan langsung tertuju pada sebuah kain penutup kepala yang biasanya dikenakan oleh perempuan muslimah, hijab telah menjadi simbol agama Islam sekaligus penanda identitas bagi seorang muslimah. Meskipun sejarawan Will Durant dalam bukunya The Story of The Civilization mengungakapkan bahwa hijab, atau sepadan dengan kata jilbab, sesungguhnya merupakan pakaian yang sudah dikenakan sebelum Islam datang.
Seorang muslimah yang juga profesor dari The University of Texas Austin, Dr. Faegheh Shirazy, juga menyampaikan hal yang kurang lebih sama, dalam artikelnya “Behind The Veil”, ia mengungkapkan bahwa penutup kepala yang dikenakan seorang perempuan, yang lebih kita kenal sebagai jilbab, hijab atau kerudung, sesungguhnya merupakan simbol dari berbagai identitas, “Throughout history, the veil has symbolized many things to different people”.
Namun begitu, di negara Indonesia yang mayoritas beragama Islam, hijab melekat sekali dengan identitas ke-muslimah-an seorang perempuan. Oleh karenanya ketika merujuk pada kata hijab, kita otomatis menyimbolkannya sebagai penutup kepala yang dipakai muslimah.
Namun, ketika merujuk pada pertanyaan “kain penutup kepala seperti apakah hijab itu”, “bagaimana cara mengenakan hijab itu”, “apakah sama antara hijab dan jilbab”, disadari atau tidak pertanyaan tersebut memiliki jawaban yang berbeda-beda bagi setiap orang.
Ketika memperingati World Hijab Day di Eropa pada 4 September lalu, beberapa kelompok ibu-ibu dan remaja muslimah di berbagai negara,  melakukan aksi long march dengan spanduk-spanduk bertuliskan “Hijab is my pride”, “Hijab is my right” dll.  Menjadi menarik ketika gelombang para muslimah itu mengenakan hijab dengan perbedaan style berhijab.
Bahkan di Paskistan, para muslimah yang menyuarakan hak-hak mereka untuk berhijab -sebagai bentuk protes terhadap Eropa yang melarang penggunaan hijab waktu itu- mengenakan hijab yang tak seragam, beberapa di antaranya mengenakan hijab yang menutup seluruh wajah kecuali mata, atau kita kenal dengan cadar, dan beberapa di antaranya tak memakai cadar. Namun perbedaan style berhijab itu sesungguhnya tak berarti apapun sebab mereka menyuarakan hal yang sama, mereka menuntut hak-hak yang sama, yakni dihargainya mereka mengenakan hijab sebagai kebanggaan mereka.
High-class Hijab di Indonesia
Ketika negara lain memperingati hari Hijab dengan long march, di Indonesia, para muslimah justru membuat perubahan baru dalam budaya berhijab di Indonesia. Para muslimah yang getol dengan dunia fashion merasa perlu mengangkat “martabat” hijab di mata dunia yang selama ini selalu diasosiasikan sebagai simbol keterkungkungan perempuan dalam tradisi kuno.
Sebut saja Hijabers Community, komunitas yang terjalin pada tahun 2010 itu menjadi tonggak baru dalam perubahan model berhijab bagi muslimah di Indonesia. Digawangi oleh Dian Pelangi, seorang perempuan asal Pekalongan, Hijabers Community mendobrak stigma negatif bahwa perempuan berjilbab/berhijab adalah perempuan kampungan dan kuno.
Tak hanya merancang busana muslim dari satu kiblat, Dian Pelangi sang penggagas Hijabers Community yang disebut-sebut sebagai trendsetter muslimah modern itu merancang busana muslimah dengan memadukan antara style Timur Tengah yang unik dan style Eropa yang menarik.
Dimulai pada tahun 2009, kali pertama Dian Pelangi menunjukkan model busana perpaduan antara busana muslimah dan style modern di sebuah helatan fashion show di Melbourne Australia, kini, Dian Pelangi telah membuat begitu banyak perempuan muslimah bangga dengan hijab yang mereka kenakan, hijab yang dulu dianggap tak trendy kini menjelma sesuatu yang sangat fashionable dan kosmopolitan.
Bahkan, rencananya pada akhir tahun ini akan digelar Muslim World Exhibition di Paris, Perancis. Sebuah gelaran yang akan membuka mata dunia untuk melihat bahwa betapa muslimah, beserta hijab kebanggaannya, adalah bagian dari peradaban dunia yang harus diapresiasi.
Yang lebih menarik lagi, Hijabers Community juga hendak menjadikan Indonesia sebagai kiblat fashion muslim dunia sepuluh tahun mendatang. Sebuah langkah yang progresif untuk “meninggikan” martabat hijab di hadapan masyarakat dunia yang selama ini masih ada sebagian yang bersikap diskriminatif dan sentimen terhadap perempuan berjilbab.
Dari sinilah kemudian muncul istilah modern hijab, diksi hijab pun tak melulu soal identitas ataupun budaya konvensional dan tak progresif. Namun jauh melampaui itu, dengan identitas yang muslimah miliki, hijab telah memiliki bargaining position yang cukup tinggi di mata dunia. Dengan hijab yang stylish itu pula, muslimah bangga menjadi dirinya sendiri, mereka pun, tak lagi risau akan dianggap ketinggalan zaman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar